Belakangan ini beranda informasi di semua media sosial dipenuhi peristiwa-peristiwa kekerasan. Makin hari kekerasan terus meningkat jumlah dan variasinya seiring dengan kemajuan akal dan teknologi. Rasa-rasanya makin maju peradaban dan teknologi, makin tinggi pula jumlah, variasi, dan intensitas kekerasan manusia atas manusia lain. Di seberangnya, makin sedikit orang yang peduli terhadap orang lain, makin sedikit orang yang mencegah dirinya dan orang lain melakukan kekerasan terhadap manusia dan alam sekitarnya, makin sedikit orang yang jujur terhadap dirinya maupun kepada orang lain.
Di dekat kita, dalam keseharian, di berbagai tempat dan waktu, sadar atau tidak, kita telah menjadi objek bahkan pelaku kekerasan. Sangat mungkin karena terlalu sering, karena itu terbiasa, mendengar dan menyaksikan kekerasan melalui gosip di tempat nongkrong, radio, film, berita televisi, FB, IG, WA, Games, koran, majalah, sehingga kekerasan yang paling kecil maupun yang paling sadis menjadi biasa-biasa saja. Intensitas yang menjadi kebiasaan ini, lama-lama dianggap sesuatu yang wajar-lumrah, bahkan menjadi kepribadian tambahan di era tutup zaman ini. Sudah demikian adanya sesuai kehendak zaman. Pasrah dan membiarkan saja menjadi pelaku maupun objek kekerasan.
Anak kandung usia belia yang tidak patut menerima caci maki ibu bapaknya, bisa jadi adalah fakta yang saya dan anda lakuan sebagai orang tua. Anak kandung yang mengasari ibu bapaknya lewat ucapan dan perbuatan, mungkin juga telah sering saya dan anda lakukan. Kita semua mungkin telah pula menjadi objek kekerasan seperti itu, dan melakukan sama persis pengalaman itu terhadap orang lain, tanpa merasa melakukannya. Kita telah dibuat lupa oleh zaman yang telah dikuasai oleh Setan dan pengikut-pengikutnya. Kita lupa diri, tetapi dengan kesadaran tinggi sebagai orang terhormat, anak zaman supra-modern.
Peristiwa Papua, suami bunuh istri, anak bunuh orang tua, istri bunuh suami, golongan membantai golongan, pengurus negara melukai hati rakyat, sahabat khianati sahabat, saudara zholimi saudara, dan berbagai kekerasan lainnya sudah sangat biasa menjadi tontonan menarik. Itu semua mengundang rasa marah dan reaksi variatif. Ada yang mengumpat marah sambil makan snack, lalu melanjutkan kesibukannya menjelajahi dunia maya yang penuh peristiwa palsu. Ada yang menjadikannya bahan diskusi di dunia maya, adu argumentasi menunjukkan diri paling benar, ada yang membiarkan saja tak peduli keadaan sekitar maupun di luar kitarannya. Ada yang segera menghimpun orang lain untuk protes barengan, mengutuk barengan melalui petisi-petisi online maupun surat kabar, dan turun ke jalan. Tetapi kekerasan di sana sini itu terus berlangsung dan makin hari meningkat.
Ya semua itu berjalan seperti mengalirnya air di sungai yang tak mungkin kembali. Sadar atau tidak kita semakin tidak peduli. Kita makin lebih suka diurus daripada mengurus. Kita makin lebih suka diberi daripada memberi. Kita makin lebih suka disayangi daripada menyayangi. Kita makin lebih suka dihargai daripada menghargai. Kita makin lebih suka diam daripada malawan.
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Komen2x: