Kita tidak peka lagi seperti dulu. BBM naik 30%, BPJS naik 100%, sebentar lagi tarif listrik segera naik 30%, seluruh komoditas pastilah menyusul naik melambung. Padahal daya beli rakyat terbanyak tetap di bawah standard kelayakan hidup. Repotnya, suara-suara kritis sudah dibungkam oleh pemilik kesadaran kritis.
 

Kemiskinan yang makin menghimpit, peluang kerja yang makin langka, tanah-tanah yang dirampas paksa, HAM dan keberagaman yang ternodai, kebebasan yang dibelenggu, dan semacamnya, kini sekadar menjadi pemanis untai kata para aktivis, politisi, pengurus negara, netizen, dan mahasiswa ketika menunjukkan eksistensi, identitas, dan karakter masing-masing di ruang hampa makna di sini di beranda FB, di beranda koran-koran on line dan cetak, di acara-acara debat kritis TV, di grup WA, Telegram, Messenger, dll.
 

Kita tidak lagi bergerak, hanya mampu berkata-kata. Kalau pun bergerak, gerakan itu bukan kias kepahlawanan, tetapi verbal, berpindah dari kafe ke kafe, warkop ke warkop, forum ke forum. Semua itu tidak bermakna di dunia nyata, karena faktanya BBM makin melambung harganya, kesehatan, pendidikan, bahan makanan dan pakaian, semuanya bertambah mahal. Kita yang hanya bisa hidup karena menjual jasa, makin dibuat bingung mencari sumber-sumber lain agar tidak dijerat tuduhan korupsi, tidak dituduh menggadaikan idealisme, tidak dituduh berkesadaran palsu. Pun, semua subsidi sudah dicabut dan kita makin kalang kabut.
 

Kaum tani dipaksa oleh keadaan serba menindas yang direkayasa kaum kapital ini, mau tak mau membudidayakan tanaman komoditas eksport lalu melupakan padi, jagung, ubi, dan lainnya. Nelayan-nelayan kampung memilih kerja serabutan di darat daripada bersaing dengan bagang dan kapal-kapal besar rakus ikan. Orang-orang di Togean bahkan mengeluh, tak bisa ambil ikan dan tak bisa menanam karena seluruh kawasan hidup mereka adalah Taman Nasional. Kaum Tani di Mori Atas Morowali Utara kesulitan mempertahankan hidup, karena Tanaman Sawit sudah mengelilingi permukiman mereka, tak ada lagi tanah kosong untuk bisa tanam padi dan palawija, semuanya di HGU-kan oleh negera untuk Kuasa Modal dalam Negeri dan Luar Negeri.
 

Mau mengadu kemana duhai komiu rakyat nan sengsara...? para pengurus negara dan cerdik pandai negeri ini sedang sibuk mau pindahkan Ibukota Negara, sibuk hitung rugi jual BUMN kepada Asing, sibuk hitung untung dari kenaikan BBM dan BPJS. Saudara kita orang Papua bahkan mau melepas diri dari Negara yang dipimpin orang-orang khianat ini. Lalu kita yang sedang sekarat pun dipaksa keadaan untuk meyel-yelkan NKRI Harga Mati, padahal kita sadar negara ini sudah mati harga.
Sementara jumlah kita yang sedikit makin sedikit. Jumlah orang tertindas lagi miskin makin banyak, karena standar layak hidup makin tinggi dan harga-harga makin menuju langit. Orang kaya makin kaya dan bertambah banyak. Sedihnya, anak-anak kita, remaja, dan kaum muda di kota maupun di desa-desa sudah terdelusi oleh games on line, berburu eksis di dunia maya, bermimpi ketemu artis korea, berselfie di mana saja dan kapan saja, bahkan bersama guru-guru mereka yang terjangkit demam millenial.
Untuk kita yang tinggal beberapa, apa yang kita tunggu...?

Comments

Popular Posts