Sekadar Mengingatkan....
Unjuk rasa terbesar pertama menentang kebijakan Soeharto terjadi pada 15 Januari 1974, ketika Pemerintah Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Indonesia. Massa yang berjumlah puluhan ribu tidak kurang dari 30 sampai 70 an ribu bersama-sama dengan mahasiswa turun ke jalan-jalan mengecam pembangunan yang hanya menguntungkan Imperialis asing, alite politik, dan pengusaha keturunan China. Demonstrasi ini berubah menjadi kerusuhan besar yang dikenal dengan Malapetaka lima belas Januari (Malari). Menurut Elizabeth F. C., diduga kerusuhan itu dikobarkan oleh preman-preman Sewaan Ali Murtopo, kepala Operasi Khusus Intelejen dan Subversi, konon dia mendiskreditkan gerakan mahasiswa dan menjatuhkan lawan politiknya Jenderal Sumitro, panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Resmilah setelah itu, gerakan mahasiswa dianggap sebagai pemicu peristiwa Malari, mereka dianggap sebagai komplotan aktivis sosialis radikal yang akan menjatuhkan pemerintah. Para tokoh mahasiswa lalu ditahan, dan lembaga-lembaga Pers dibredel.
Tahun 1978 sebelum Pemilu gelombang gerakan mahasiswa muncul kembali. Di Jakarta, di Bandung, di Surabaya mahasiswa turun ke jalan mengecam kecurangan dalam pemungutan suara, pemaksaan pemilih, dan pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden untuk ketiga kalinya. Tokoh-tokoh Demonstran ditangkap, diadili, lalu dipenjarakan. Pemerintah kemudian menerbitkan peraturan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), yang menghapuskan semua Dewan Mahasiswa, lalu menempatkan semua kegiatan mahasiswa di bawah kontrol ketat rektor-rektor perguruan tinggi.
Kampus-kampus dibuat sebagai pabrik produksi tenaga kerja bagi kepentingan korporasi imperealisme. Manusia Indonesia yang berada dalam lingkaran kampus dinormalisasi kedudukan dan pandangan Politiknya. Daya kritik, dan pandangan politik mahasiswa dikanalisasi dalam propaganda hitam orde baru tentang Politik dan partai Politik. Agitasi anti politik dan “mengagungkan pembangunan dijadikan sebagai bagian dominan kurikulum pendidikan. Dunia Pendidikan dikebiri dan Mahasiswa pada umumnya dibelenggu kesadaran politiknya, didekatkan dengan kekuasaan untuk dipersiapkan sebagai sekrup rezim yang korup.
Pada Rezim Soeharto, manusia Indonesia dijauhkan dari Dunia Pendidikan (sejati) dan diarahkan mengibarkan panji-panji “pembangunan-isme.” Rakyat dibius dan diinjeksikan kesadaran palsu, bahwa energi seluruh rakyat terdidik maupun tak terdidik diarahkan untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional dengan bantuan (baca: UTANG) dari negara-negara yang baik hati (dedengkot imperalis). Mahasiswa “dikandangkan” secara fisik dan intelektual. Secara fisik diikat dalam kegiatan intra-kampus dalam kelas dan organisasi internal kampus. Secara intelektual dipasok dengan kurikulum berbasis pembangunanisme, baik secara epistemologi maupun praksis. Mahasiswa jadi enggan keluar melihat persoalan petani di perdesaan, buruh di pabrik-pabrik, dan enggan pula berpikir kritis melihat keserakahan rezim Orde Baru merampas hak-hak hidup rakyatnya sendiri.
Meski demikian tidak semua mahasiswa yang berkhianat terhadap hati nuraninya sendiri, di antara mahasiswa terdapat intelektual-intelektual muda sejati. Mereka lalu membangun kekuatan di luar kampus, mendirikan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok-kelompok Studi Kritis, Kelompok Studi Radikal, organisasi berbasis agama, dan ada pula yang langsung ke desa-desa membangun kekuatan bersama rakyat, bahkan membangun partai Oposisi. Mereka juga dengan susah payah berusaha membangun kembali kesadaran kritis kawan-kawan mereka yang telah terbius oleh agama sekular Pembangunanisme...
postingan Asli disini

Comments
Post a Comment
Komen2x: