Politik Satu Marga
Saya kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako. Kurang lebih 14 semester baru saya keluar dengan gelar sarjana. Tentu saja saya belajar teori-teori Politik dan bagaimana praktik politik di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Di jurusan saya bahkan ada pelajaran Sosiologi Politik alias Sosiologi Kekuasaan. Bukan "mo ba sombong", saya tidak termasuk sarjana abal-abal, karena cukup rajin belajar, sampai berlama-lama di kampus, nyaris di DO. Saya mau yakinkan teman-teman FB, saya cukup mengerti dan paham bagaimana politik itu dipraksiskan dan diteoretisasi.
Itu di dunia akademik. Di dunia nyata, ini yang aneh. Saya kok merasa bodoh kalau berhadapan dengan "politik" yang dipraktikkan oleh para politisi besutan Parpol. Padahal sedikit saja dari mereka belajar serius tentang "Politik" di ruang akademik.
Saya merasa bodoh ini ada alasannya. Kalau orang-orang yang tidak belajar politik seserius saya di waktu kuliah bisa menjadi politisi handal, kaya, dan glowing, kenapa saya tidak masuk ke dunia "politik" di rumah-rumah politik yang tersedia...? Jangan-jangan saya saja yang merasa pintar atau "namango", sehingga menganggap orang-orang yang belajar politik di dunia kampus saja yang "melek" politik.
......Kalau kemahiran "berpolitik" itu tidak berkaitan dengan jalur pendidikan yang tempuh seseorang, maka lebih baik dihapuskan saja pelajaran Ilmu Politik itu di kampus-kampus. Jadikan saja Partai-Partai Politik sebagai tempat belajar. Atau buat saja pelatihan-pelatihan Politik di luar kampus, toh banyak sarjana politik yang nganggur, jadi pedagang, jadi satpam, jadi aktivis, jadi buruh, jadi yang bukan ngurusi parpol.
Atau jangan-jangan Politik di Indonesia ini jadi buruk rupa penuh bopeng dan korup, karena yang "ada di ruang-ruang politik" legal resmi itu diisi oleh orang-orang memang tidak belajar politik dengan serius ketika sekolah.
Atau jangan-jangan, memang "dunia politik" itu akan mengubah watak orang jadi perampok, penindas, dan zalim, sehingga banyak orang "waras" menahan diri untuk masuk ke dalamnya. Orang yang semula waras pun kalau sudah masuk di dalamnya akan terjangkit demam kekuasaan dan serakah...
Contoh dekat saja, di Kampung saya, Kabupaten Buol, orang yang masih satu marga dapat saling rebut kursi kuasa Parpol. Masing-masing merasa paling layak, paling baik, paling berhak, paling bersih lahir batin, bukan perampok, paling digjaya membesarkan partai dan mengurus kepentingan rakyat menuju sejahtera.
Repotnya... ribut-ribut oknum sesama marga yang rebut kuasa politik itu, tersebar luas ke publik oleh para pendekar politik yang menjadi pengikut-pengikut setia.
Mirisnya, rakyat Buol yang Waras tidak sedikit, tetapi membiarkan "orang-orang" seperti ini memegang kekuasaan di Kabupaten Buol.
Sedihnya, rakyat Buol setiap 5 tahun rela ditipu oleh politisi-politisi ini. Belasan tahun sudah rakyat memilih langsung calon pemimpinnya, tetapi tidak juga kapok...!!! Kelakuan mereka yang tidak bisa dibilang mulia toh dielu-elukan dan disanjung.
Makanya cocoklah pernyataan di Al Quran, bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu tidak mengubah nasibnya sendiri...!!!
Tidak memilih, tidak mendukung, atau tidak menjilat politisi-politis buruk tabiat, setidaknya merupakan salah satu bentuk ikhtiar untuk mengubah nasib "kaum" Buol. Sebab, baik buruknya pengelelolaan pemerintahan, pengurusan kepentingan rakyat, melawan kemiskinan dan kebodohan sangat tergantung dari pemimpin kaum itu....!!!
Selamat memasuki tahun pencitraan, Salam Waras.
Sumber:

Comments
Post a Comment
Komen2x: